
Selamat
malam sobat blogger. Kali ini saya akan membahas tentang self leadership atau
yang diartikan sebagai kepemimpinan diri. Tema ini sangat menarik buat saya
karena didalam materi ini terdapat segudang ilmu yang kita dapat dan kita
pelajari dan mungkin kita dapat merubah pola hidup dan pemikiran kita menjadi
lebih baik , tegas dan disiplin. Mungkin materi ini sering kita dengar dan kita
dapati apabila kita mengikuti suatu organisasi yang banyak manfaatnya.
Jika
kita kembali mengingat sejarah umat manusia,maka kita tentu ingat bahwa dengan
kecerdasan hakiki yang dimilikinya Adam dinobatkan sebagai pemimpin bagi
makhluk-makhluk yang lainnya.Hal ini menegaskan bahwa kecerdasan hakiki itu
sangat erat kaitannya dengan tugas dan peran manusia sebagai
pemimpin.Masalahnya,tidak semua orang berada dalam posisi atau jabatan sebagai
pemimpin.Jadi,bagaimana kita bisa begitu yakin bahwa misi hidup yang kita emban
itu adalah untuk menjadi pemimpin? Lagi pula,jika semua orang menjadi pemimpin
lantas siapa yang akan dipimpin?
Kita sering keliru mengira bahwa kepemimpinan itu selalu berkaitan dengan jabatan atau kedudukan.Padahal,kepemimpinan yang sesungguhnya erat kaitannya dengan misi kita untuk memimpin diri sendiri atau yang biasa kita sebut sebagai self-leadership.Setiap pribadi adalah pemimpin.Setidak-tidaknya menjadi pemimpin bagi diri sendiri,supaya jangan sampai gagal menjalani hidup.Untuk itulah pentingnya kecerdasan hakiki bagi setiap pribadi.
Seseorang tidak mungkin bisa memimpin orang lain jika dia tidak mampu memimpin dirinya sendiri.Memang banyak pemimpin hebat bagi orang lain,tetapi hidupnya sendiri berantakan.Jadi,kelihatanya seseorang tidak harus mampu memimpin dirinya sendiri untuk bisa memimpin orang lain.Itu benar jika hanya berbicara soal kepemimpinan yang semu.Namun jika berpijak kepada prinsip kepemimpinan sejati tentu tidak akan berpikir demikian.Apa ciri kepemimpinan semu itu? Gampang,kalau kita masih sering merasa hidup ini hampa.Mengapa hampa? Karena,rasa hampa ditimbulkan oleh perasaan tidak berguna.Setiap manusia dilahirkan dengan sebuah misi untuk menjadikan hidupnya berarti.Sementara itu,kehampaan tidak bisa menghampiri mereka yang mampu memberi arti kepada orang lain atau lingkungan tempat dirinyaberada.
Berpijak pada prinsip ini,maka kita bisa mengetahui ciri kepemimpinan sejati,yaitu ketika merenung sendirian,kita menemukan jejak yang menunjukan bahwa kita bisa memberi arti bagi orang lain atau dunia yang kita tinggali.Kecerdasan hakiki bisa membantu kita memberi
Kita sering keliru mengira bahwa kepemimpinan itu selalu berkaitan dengan jabatan atau kedudukan.Padahal,kepemimpinan yang sesungguhnya erat kaitannya dengan misi kita untuk memimpin diri sendiri atau yang biasa kita sebut sebagai self-leadership.Setiap pribadi adalah pemimpin.Setidak-tidaknya menjadi pemimpin bagi diri sendiri,supaya jangan sampai gagal menjalani hidup.Untuk itulah pentingnya kecerdasan hakiki bagi setiap pribadi.
Seseorang tidak mungkin bisa memimpin orang lain jika dia tidak mampu memimpin dirinya sendiri.Memang banyak pemimpin hebat bagi orang lain,tetapi hidupnya sendiri berantakan.Jadi,kelihatanya seseorang tidak harus mampu memimpin dirinya sendiri untuk bisa memimpin orang lain.Itu benar jika hanya berbicara soal kepemimpinan yang semu.Namun jika berpijak kepada prinsip kepemimpinan sejati tentu tidak akan berpikir demikian.Apa ciri kepemimpinan semu itu? Gampang,kalau kita masih sering merasa hidup ini hampa.Mengapa hampa? Karena,rasa hampa ditimbulkan oleh perasaan tidak berguna.Setiap manusia dilahirkan dengan sebuah misi untuk menjadikan hidupnya berarti.Sementara itu,kehampaan tidak bisa menghampiri mereka yang mampu memberi arti kepada orang lain atau lingkungan tempat dirinyaberada.
Berpijak pada prinsip ini,maka kita bisa mengetahui ciri kepemimpinan sejati,yaitu ketika merenung sendirian,kita menemukan jejak yang menunjukan bahwa kita bisa memberi arti bagi orang lain atau dunia yang kita tinggali.Kecerdasan hakiki bisa membantu kita memberi
arti
secara semaksimal.
Pengertian
Leadership
Kepemimpinan atau leadership adalah proses memengaruhi
atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai
tujuan organisasi. Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah
"melakukannya dalam kerja" dengan praktik seperti pemagangan pada
seorang seniman ahli, pengrajin, atau praktisi.Dalam hubungan ini sang ahli
diharapkan sebagai bagian dari perannya memberikan pengajaran/instruksi.
Dalam bahasa Indonesia "pemimpin" sering
disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus,
penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan
istilah Memimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang
berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara.
Istilah pemimpin, kemimpinan, dan memimpin pada mulanya
berasal dari kata dasar yang sama "pimpin". Namun demikian ketiganya
digunakan dalam konteks yang berbeda.
Pemimpin adalah suatu lakon/peran dalam sistem
tertentu; karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki
ketrampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Istilah Kepemimpinan
pada dasarnya berhubungan dengan ketrampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh
yang dimiliki seseorang; oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang
yang bukan "pemimpin".
Arti pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki
kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/ kelebihan di satu bidang sehingga
dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan
aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan.
Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan -
khususnya kecakapan-kelebihan di satu bidang , sehingga dia mampu mempengaruhi
orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk
pencapaian satu beberapa tujuan. (Kartini Kartono, 1994 : 181).
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Leadership
Hersey dan Blanchard (1988) mengajukan semacam formula
bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen,
yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan
tersebut diwujudkan.
|
Bertolak dengan pemikiran tersebut, Hersey dan
Blanchard mengajukan proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k) merupakan suatu
fungsi dan pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi tertentu (s), yang dapat
dinotasikan dalam bentuk formula :
Pimpinan (p) adalah seseorang yang dapat mempengaruhi
orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum yang telah
ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan berjalan dengan
baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan setiap pimpinan
mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan teknis, manusiawi dan
konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau sekelompok orang yang
merupakan anggota dan suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap saat siap
melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati bersama guna mencapai
tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai peranan yang sangat
strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan bergantung kepada para
pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang pemimpinan dituntut untuk memilih
bawahan dengan secermat mungkin.
Adapun situasi (s) adalah suatu keadaan di mana
seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu mempengaruhi perilaku orang
lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Dalam satu situasi misalnya, tindakan pimpinan pada beberapa tahun yang lalu
tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada saat sekarang, karena memang
situasinya telah berlainan. Dengan demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi
gaya kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan, bawahan dan situasi merupakan unsur
yang saling terkait satu dengan lainnya, dan akan menentukan tingkat keberhasilan
kepemimpinan.
Selain Hersey dan Blanchard, para ahli yang membahas
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepemimpinan adalah Theodore J.
Kowalski, Thomas J. Lasley II, James W. Mahoney (2008). Ketiga ahli ini
memandang kepemimpinan dipengaruhi oleh tiga lingkaran variabel, yaitu variabel
individu, organisasi, dan sosial. Seperti tampak pada gambar berikut:
Keputusan tentu diambil oleh individu. Akan tetapi
keputusan itu tidaklah murni disebabkan oleh kehendak individu tersebut, tetapi
ada pengaruh dari faktor organisasi kemudian faktor sosial yang melikupi
individu tersebut. Kowalski dkk. (2008: 25-46) menguraikan factor – factor
dalam tataran individu, organisasi, dan sosial. Pada tataran individu,
faktor-faktor yang mempengaruhi adalah pengetahuan dan keterampilan,
karakteristik pribadi, nilai-nilai yang diyakini, penyimpangan, dan gaya dalam
membuat keputusan. Variabel organisasi mencakup iklim dan budaya, politik
organisasi, ancaman dan resiko, Ketidak-pastian, kerancuan, dan pertikaian. Sedangkan
yang mencakup variabel sosial adalah kebutuhan resmi, meta value, politik, dan
ekonomi.
Dengan pola dikotomi, berdasarkan formula Hersey dan
Blanchard serta penjelasan yang dikemukakan Kowalski dkk. di atas, penulis bisa
membagi faktor-faktor yang mempengaruhi kepemimpinan menjadi dua faktor besar
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah
faktor-faktor yang muncul dari diri pemimpin, sedangkan faktor eksternal adalah
faktor-faktor yang terkait dengan karakteristik bawahan dan situasi. Termasuk
didalamnya situasi organisasi dan sosial.
1.
Faktor Internal
Sebagai seorang pribadi, pemimpin tentu memiliki
karakter unik yang membedakannya dengan orang lain. Keunikan ini tentu akan
berpengaruh pada pandangan dan cara ia memimpin. Ada karakter bawaan yang
menjadi ciri pemimpin sebagai individu, ada kompetensi yang terbentuk melalui
proses pematangan dan pendidikan. Menurut Mustodipradja, dengan mengutip
Rothwell dan Kazanas, kompetensi pemimpin merupakan cerimanan kepribadian
(traits) individual yang bersifat permanen yang dapat mempengaruhi kinerja
seseorang. Selain traits dan Spencer dan Zwell tersebut, terdapat karakteristik
kompetensi lainnya, yatu berupa motives, self koncept.knowledge, dan skill.
Menurut review Asropi (2002), berbagai kompetensi tersebut mengandung makna
sebagai berikut : Traits merunjuk pada ciri bawaan yang bersifat fisik dan
tanggapan yang konsisten terhadap berbagai situasi atau informasi.
Motives adalah sesuatu yang selalu dipikirkan atau diinginkan
seseorang, yang dapat mengarahkan, mendorong, atau menyebabkan orang melakukan
suatu tindakan. Motivasi dapat mengarahkan seseorang untuk menetapkan
tindakan-tindakan yang memastikan dirinya mencapai tujuan yang diharapkan. Self
concept adalah sikap, nilai, atau citra yang dimiliki seseorang tentang dirinya
sendiri; yang memberikan keyakinan pada seseorang siapa dirinya. Knowledge
adalah informasi yang dimiliki seseorang dalam suatu bidang tertentu. Skill
adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas tertentu, baik mental atau pun fisik.
Berbeda dengan keempat karakteristik kompetensi lainnya yang bersifat intention
dalam diri individu, skill bersifat action. Skill menjelma sebagai perilaku
yang di dalamnya terdapat motives, traits, self concept, dan knowledge.
Dengan mengutip pendapat Spencer (1993) dan Kazanas
(1993), Asropi menjelaskan bahwa kompetensi kepemimpinan secara umum dipilah
menurut jenjang, fungsi, atau bidang, yaitu kompetensi berupa : result
orientation, influence, initiative, flexibility, concern for quality, technical
expertise, analytical thinking, conceptual thinking, team work, service
orientation, interpersonal awareness, relationship building, cross cultural
sensitivity, strategic thinking, entrepreneurial orientation, building organizational
commitment, dan empowering others, develiping others. Kompetensi-kompetensi
tersebut pada umumnya merupakan kompetensi jabatan manajerial yang diperlukan
hampir dalam semua posisi manajerial. Ke 18 kompetensi yang diidentifikasi
Spencer dan Kazanas tersebut dapat diturunkan ke dalam jenjang kepemimpinan
berikut : pimpinan puncak, pimpinan menengah, dan pimpinan pengendali operasi
teknis (supervisor). Kompetensi pada pimpinan puncak adalah result
(achievement) orientation, relationship building, initiative, influence,
strategic thinking, building organizational commitment, entrepreneurial
orientation, empowering others, developing others, dan felexibilty.
Adapun kompetensi pada tingkat pimpinan menengah lebih
berfokus pada influence, result (achievement) orientation, team work,
analitycal thinking, initiative, empowering others, developing others,
conceptual thingking, relationship building, service orientation, interpersomal
awareness, cross cultural sensitivity, dan technical expertise. Sedangkan pada
tingkatan supervisor kompetensi kepemimpinannya lebih befokus pada technical
expertise, developing others, empowering others, interpersonal understanding,
service orientation, building organzational commitment, concern for order,
influence, felexibilty,relatiuonship building, result (achievement)
orientation, team work, dan cross cultural sensitivity.
Asropi meyakinkan bahwa terdapat 5 (lima) praktek
mendasar pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan unggul, yaitu; (1)
pemimpin yang menantang proses, (2) memberikan inspirasi wawasan bersama, (3)
memungkinkan orang lain dapat bertindak dan berpartisipasi, (4) mampu menjadi
penunjuk jalan, dan (5) memotivasi bawahan.
Adapun ciri khas manajer yang dikagumi sehingga para
bawahan bersedia mengikuti perilakunya adalah, apabila manajer memiliki sifat
jujur, memandang masa depan, memberikan inspirasi, dan memiliki kecakapan
teknis maupun manajerial. Dalam hubungannya dengan kualitas kepemimpinan
manajer, kunci dan kualitas kepemimpinan yang unggul adalah kepemimpinan yang
memiliki paling tidak 8 sampai dengan 9 dari 25 kualitas kepemimpinan yang
terbaik. Dinyatakan, pemimpin yang berkualitas tidak puas dengan “status quo”
dan memiliki keinginan untuk terus mengembangkan dirinya. Beberapa kriteria
kualitas kepemimpinan manajer yang baik antara lain, memiliki komitmen
organisasional yang kuat, visionary, disiplin din yang tinggi, tidak melakukan
kesalahan yang sama, antusias, berwawasan luas, kemampuan komunikasi yang tinggi,
manajemen waktu, mampu menangani setiap tekanan, mampu sebagai pendidik atau
guru bagi bawahannya, empati, berpikir positif, memiliki dasar spiritual yang
kuat, dan selalu siap melayani.
2.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal jika dikaitkan dengan formula Hersey
dan Blanchard, adalah faktor bawahan dan situasi. Faktor bawahan adalah faktor
yang disebabkan oleh karakter bawahan, di dalamnya terkait dengan status
sosial, pendidikan, pekerjaan, harapan, ideologi, agama dll. Faktor-faktor itu
tentu akan menentukan bagaimana pemimpin mengatur dan mempengaruhinya. Jika
bawahan itu adalah siswa, maka pemipimpin akan menjalan pola kepemimpinan
sesuai dengan karakter siswa. Karakter siswa pun akan berbeda-beda, ada yang
belum dewasa sehingga pemimpin mendekatinya dengan pendekatan pedagogi, ada
pula siswa yang sudah dewasa sehingga memerlukan pendekatan andragogi.
Faktor eksternal lain adalah faktor situasi. Situasi
ini berkaitan dengan aspek waktu, tempat, tujuan, karakteristik organisasi dll.
Bertalian dengan waktu, perkembangan ilmu dan pengetahuan mempengaruhi cara
pandang dan budaya manusia. Perkembangan itu berdampak pula pada perubahan
konsep kepemimpinan. Hasbi Umari (2006:1-4) memaparkan bahwa ada perkembangan
dalam kepemimpinan dilihat dari konteks sosial umat Islam.
Menurut Umari, Ada tiga fase dalam periodesasi
kepemimpinan umat di Indonesia. Setiap fase menunjukan genesis kepemimpinan
yang khas. Pertama, fase ulama. Pada fase ini, seseorang menjadi pemimpin umat
karena is memiliki pengetahuan agama yang mendalam dan menjadi rujukan umat. Ia
melewati masa awal hidupnya di pesantren sebagai santri dan menghabiskan sisa
hidupnya jugs di pesantren sebagai kiyai.
Kedua, fase organisator. Sebagai reaksi terhadap
kebijakan politis kolonial, mungkin antara lain politik etis, masyarakat
khususnya umat Islam membentuk organisasi (sosial, ekonomis, atau politis)
seperti Syarikat Islam, Muhanunadiyah, NU, Persis, Jami`atul Khair, dan
lain-lain. Pada fase ini, pemimpin Islam adalah pemimpin organisasi Islam.
Tentu raja, karir kepemimpinan kini tidak dimulai di pesantren, tetapi dari
organisasi. Orang menapak, secara berangsur-angsur atau melompat, hierarki
organisasi. Variabel kepemimpinan yang utama tidak lagi pengetahuan agama yang
mendalam, tetapi keterampilan organisasi (organization skill), termasuk
lobbying dan kasak kusuk. Yang sampai ke tingkat nasional, melalui jenjang
organisasi, pada umumnya, walaupun tidak selalu, adalah orang yang mempunyai
pijakan loka1.
Fase ketiga, fase pemuka pendapat (opinion leader).
Pada fase pertama, pemimpin ulama lahir dan dibesarkan di pesantren. Pada fase
kedua, pemimpin organisator lahir dan dibesarkan di organisasi. Dan bagaiinana
pula dengan pemimpin umat di besarkan melalui media massa.. Ini adalah dampak
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang berdampak pada
kepemimpinan umat. Pada fase ini yang dianggap sebagai pemimpin umat adalah
para empu yang (dianggap) pandai melontarkan isu-isu penting untuk dijadikan
agenda media massa. Mereka menulis di media, atau menghadiri berbagai seminar
dan diskusi. Atau, mereka mampu menyedot massa yang banyak dalam acara-acara
mereka. Apabila media massa yang mengagendakan isu-isu mereka itu lokal, mereka
menjadi pemimpin umat berskala lokal. Apabila medianya nasional, merekamenjadi
pemimpin umat berskala nasional.
Pengikut fase pertama, santri; fase kedua, anggota
organisasi; fase ketiga, “fans” (penggemar). Pada fase ketiga, pemimpin umat
(Islam) menjadi “idola”. Ada dua jenis pemimpin umat pada fase ketiga ini’
yaitu: Pertama, mubalig. Ia mungkin memulai kariemya pada tingkat lokal. la
berbicara pada majelis-majelis taklim atau stadiun radio. Ceramahnya direkam,
dan rekamannya direproduksi dan dijual secara nasional. Media massa menyiarkan
ceramahnya dan menokohkannya. Tidak perlumubaligituberasal dan pesantren; tidak
perlu ia menguasai pengetahuan agama yang mendalam; juga tidakperlu ia memiliki
keterampilan komunikasi, termasulc ketnampuan menyiarkan agama sebagai pop
culture. Karena digemari oleh orang banyak, para mubaligh menjadi celebrities.
Dunia celebrities sudah lama dihuni oleh para entertainers, misalnya artis,
pelawak, dan perancang mode. Maka, terjadilah tumpang tindih; mubaligh menjadi
artis, artis menjadi mubaligh. Kedua, cendekiawan. Apabila mubaligh lebih
banyak menyentuh ranah afektif, cendekiawan bergerak di ranah kognitif. Ia
dibesarkan lewat kerja sama kampus dengan media massa. Melalui tulisan di
media, seminar, dan diskusi, paracendekiawan membentukjanngan pengikulnya
Bukanmenuduh, umumnya pengetahuan agama mereka sangat dangkal. Akan tetapi,
analisis mereka tentangpersoalan-persoalan umat sangat tajam. Mereka membentuk
opini, sikap, dan akhimya tindakan umat.
Perkembangan Zaman pun memperlihatkan bahwa ada tiga
liran teori kepemimpinan yang mengalami perubahan pandangan seiring dengan
waktu . Studi kepemimpinan yang pada awal perkembangannya cenderung bersifat
induktif murni menempati posisi sentral dalam literatur manajemen dan perilaku
keorganisasian pada beberapa dekade terakhir.
Secara umum kajian perkembangan riset dan teori
kepemimpinan dapat dikategorikan menjadi tiga tahap penting. Pertama, tahap
awal studi tentang kepemimpinan menghasilkan teori-teori sifat kepemimpinan
(trait theories), yang mengasumsikan bahwa seseorang dilahirkan untuk menjadi
pemimpin dan bahwa dia memiliki sifat atau atribusi personal yang membedakannya
dari mereka yang bukan pemimpin. Kedua, karena muncul kritik terhadap sulitnya
mengelompokkan dan memvalidasi sifat pemimpin, kemudian muncul teori-teori perilaku
kepemimpinan (behavioral theories). Pada teori ini penekanan yang semula
diarahkan pada sifat pemimpin dialihkan kepada perilaku dan gaya yang dianut
oleh para pemimpin. Dengan demikian, berdasarkan teori ini, agar organisasi
dapat berjalan secara efektif, terdapat penekanan terhadap suatu gaya
kepemimpinan terbaik (one best way of leading). Ketiga, berdasarkan anggapan,
bahwa baik teori-teori sifat kepemimpinan maupun teori-teori perilaku
kepemimpinan memiliki kelemahan yang sama yaitu mengabaikan peranan penting
faktor-faktor situasional dalam menentukan efektifitas kepemimpinan, kemudian
muncul teori-teori kepemimpinan situasional (situational theories). Dan
pengembangan kelompok teori yang terakhir ini, maka terjadi perubahan orientasi
dari `one best way leading’ menjadi ‘context-sensitive leadership’ (Dewi,
Piramida Vol.V no.1, 2009).
Dilihat dari faktor tempat pun, konsep kepemimpinan
pun akan berubah. Dilihat dari cakupannya, kita bisa mengkategorikan
kepemimpinan lokal, regional, nasional, bahkan internasional. Semakin luas
cakupan kepemimpinan akan berdampak pada tuntutan nilai-nilai universal yang
lebih luas. Semakin sempit cakupan (lokal bahkan pada level organisasi) akan
muncul tuntutan warna loka sesuai dengan kultur masayarakat setempat. Tulisan
La Ode Turi (Budaya Kepemimpinan Lokal dalam Pelaksanaan MBS, Universitas
Kendari) dan Tulisan Dewi Kurniasih (Kepemimpinan Politik Orang Sunda, Unikom
Bandung) merupakan contoh pendapat bahwa kepemimpinan di wilayah lokal, harus
memperhatikan aspek budaya lokal jika kepemimpinan itu ingin efektif.
Agama dan ideologi pun tentu berpengaruh terhadap
kepemimpinan. Komunitas masyarakat Islam, tentu akan menggunakan nilai-nilai
Islam dalam penyusunan konsep dan aplikasi kepemimpinannya. Demikian pula
masyarakat Kristen, Budha, dll. Ideologi komunis akan menjalankan kepemimpinan
dengan ideologi komunis, demikian pula ideologi liberal.
Macam
– Macam Leadership
Tipe atau macam kepemimpinan sangatlah unik untuk
dibicarakan, karena dari sini kita bisa menelisik lebih jauh tipe kepemimpinan
yang dijalankan oleh seorang pemimpin. Ada banyak sekali tipe kepemimpinan yang
saya sebutkan. Untuk lebih jelasnya simaklah keterangan di bawah ini.
Secara umum tipe kepemimpinan dapat digolongkan
menjadi tipe,yaitu :
· Tipe
Otoriter : Tipe kepemimpinan yang berpusat pada pekerjaan tanpa menghiraukan
kepentingan anggota kelompok sama sekali. Keputusan senantiasa berada ditangan
pemimpin, anggota kelompok ederung dijadikan sebagai alat untuk mengekploitir
tujuan kelompok semata, sehingga tipe ini mempunyai kekuasaan absolute.
· Tipe
Laizess Faire : Tipe Laizess faire ini memberikan kebebasan yang terlalu luas
bagi anggota kelompok, sehingga kelompok seolah-olah tidak mempunyai
seorang pemimpin, sehingga anggota kelompok cenderung memperlihatkan perilaku
agresif yang tinggi.
· Tipe
Demokratis : Tipe demokratis merupakan pola kepemimpinan yang sama mementingkan
tercapainya tujuan kelompok seoptimal ,mungkin dengan mengikuti sertakan
seluruh partisipasi anggota, daya dan segenap kemampuan tanggung jawab bersama.
Itulah sebabnya ciri utama gaya kepemimpinan ini adalah pendistribusian
wewenang dan tanggung jawab pemimpin pada sejumlah anggota, tanpa mengurangi
partisipasi dan tanggung jawab terhadap kelompok secara keseluruhan.
Tipe Kepemimpinan Menurut Blake dan Mouton :
1. Tipe Improverished
Merupakan perilaku kepemimpinan dengan segala
tindakannya yang kurang berkualitas baik ditinjau dari segi kerjsamanya dengan
anggota kelompok maupun dari segi pencapaian tujuan kelompok itu sendiri.
Kepemimpinan seperti ini dapat disebut sebagai kepemimpinan plinplan.
2. Tipe Ujung tombak
Kelompok
Kepemimpinan yang menganggap faktor manusia sebagai
robot pekerja tujuan kelompok. Ciri-cirinya adalah kejam, mengeksplottir
anggota kelompok, tidak manusiawi, menstruktur batas waktu kerja tak terbatas,
memberikan sangsi beret terhadap kegagalan dan kelalaian, bertipe hubungan
impersonal.
3. Tipe Manusiawi
Merupakan pemimpin yang sangat mementingkan
keharmonisan hubungan antar pribadi sesama anggota dan mengesampingkan tujuan
utama kelompok. Cirinya adalah sangat menghargai eksis-tensi individu sebagai
pribadi bersikap lunak, rumah dan penuh kesopanan, penampilan sebagai manusia
(penyayang manusia), rela berkorban demi kepentingan anggota, punya tenggang
rasa yang tinggi.
4. Tipe Team Builder
Tipe ini sangat mementingkan tujuan dan keharmonisan
hubungan sosial anggota kelompok. Target tujuannya harus tercapai dan hubungan
sosial tetap terbina, harmonis dan penuh keakraban. Tipe ini adalah yang paling
baik dan tidak perlu disangsikan lagi efektivitasnya, apalagi bila digabungkan
dengan pola pendekatan situasional.
5. Tipe The Middle of
the Roader
Tipe ini membuat perilaku perimbangan antara tujuan
dan hubungan sosial anggota kelompok. Keduanya sama dianggap penting dan perlu
dicapai secara bersamaan. Tipe ini tidak jauh berbeda dengan gaya kepemimpinan
demokratis kalau tidak boleh dikatakan identik.
Kaitan
Leadership dengan Wirausaha
Hubungan Kewirausahaan dan Kepemimpinan
Kepemimpinan (leadership) merupakan salah satu aspek
penting yang harus dimiliki oleh seorang wirausahawan. Kepemiminan bagi seorang
wirausahawan tidak hanya digunakan untuk memimpin pihak-pihak yang terlibat
dalam merealisasikan usahanya, namun ia juga harus dapat memimpin dirinya
sendiri sehingga mampu mecapai tujuan yang diinginkan.
Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain agar dapat mencapai tujuan organisasi/perusahaan.
Kemampuan untuk mempengaruhi tersebut dibentuk melalui sikap-sikap dan
perilaku kepemimpinan.
Beberapa teori tentang kepemimpinan:
Trairts theory merupakan teori yang menganalisa
sikap-sikap kepemimpinan yang berkaitan dengan aspek kepribadian, sosial,
fisik, atau sikap-sikap intelektual yang membedakan seseorang yang menjadi
pemimpin dan bukan pemimpin. Adapun sikap-sikap kepemimpinan tersebut meliputi:
·
Ambisi
dan energi (ambition and energy)
·
Keinginan
untuk memimpin (desire to lead)
·
Kejujuran
dan integritas (honesty and integrity)
·
Percaya
diri (self-confidence)
·
Pandai
(intelligent)
·
Memiliki
pengetahuan yang terkait dengan pekerjaan yang dipimpinnya (job-relevant
knowledge)
Namun demikian, teori yang membahas mengenai
sikap-sikap kepemimpinan tersebut memiliki keterbatasan, yang meliputi:
·
Tidak
ada sikap yang universal untuk memprediksi kepemimpinan dalam segala situasi.
Artinya, sikap-sikap kepemimpinan tersebut mungkin tidak sesuai diterapkan ada
kondisi tertentu.
·
Sikap-sikap
tersebut memprediksi perilaku kepemimpinan dalam situasi yang “lemah” atau stabil
bukan situasi yang “kuat” atau dinamik.
·
Bukti
hubungan sebab akibat antara kepemimpinan dan sikap seorang pemimpin belum
jelas.
·
Sulit
membedakan dan menilai apakah sikap kepemimpinan seseorang lebih baik atau
lebih buruk dari yang lain karena pengaruh situasi dan kondisi berbeda.
Selain teori tentang trait leadership, untuk
menganalisis perilaku kepemimpinan ada beberapa teori atau pemahaman lain,
yaitu behavioral theory yaitu teori yang mengulas perilaku khusus yang
membedakan seseorang pemimpin dengan mereka yang bukan pemimpin.
Perbedaan mendasar antara trait theory dnegan
behavioral theory adalah bahwa pada trait theory seorang pemimpin terlahir
sebagai pemimpin, tidak dapat dibentuk (leaders are born, not made).
Sedangkan pada behavioral theory menyatakan bahwa sikap-sikap kepemimpinan
dapat dipelajari (leadership traits can be taught).
Beberapa hasil studi mengenai kepemimpinan:
Studi di University Michigan, menyatakan bahwa ada dua
jenis kepemimpinan yait:
·
Employee-oriented
leader: pemimpin yang menekankan pada hubungan interpersonal (hubungan
antarmanusia); memiliki ketertarikan pada kebutuhab karyawan dan mampu menerima
perbedaan di antara anggotanya
·
Product-oriented
leader: seseorang pemimpin yang menekankan pada aspek teknis dan tugas-tugas
yang harus diselesaikan dalam pekerjaan.
·
Studi
Skandinavia, menghasilkan pemahaman mengenai development-oriented leader yaitu
pemimpin yang memiliki kemampuan untuk melakukan percobaan (eksperimen),
mencari ide-ide baru, dan menciptakan derta melaksanakan perubahan (change).
Selain teori mengenai traits leadership dan behavioral
leadership terdapat pula teori kepemimpinan yang bersifat situasional yang
disebut dengan contingency theories: Fiedler’s Model. Teori ini menyatakan
bahwa kelompok kerja yang efektif tergantung dari kesesuaian gaya kepemimpinan
pemimpin dengan anak buahnya yang mempertimbangkan situasi atau keadaan yang
dapat dikendalikan atau dipengaruhi oleh seorang pemimpin. Dengan kata lain,
keberhasilan seseorang pemimpin ditentukan oleh bagaimana ia dapat memimpin
kelompoknya dengan gaya yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang
berbeda.
Menurut Model Fiedler, terdapat tiga hal yang
mempengaruhi situasi seorang pemimpin, yaitu:
·
Leader-member
relations, yaitu tingkat kepercayaan diri (confidence), kepercayaan (trust),
dan penghargaan (respect) dari bawahan kepada pemimpinannya.
·
Position
power, yaitu pengaruh yang dihasilkan oleh seseorang karena posisi struktural
formal di dalam organisasi; meliputi kekuasaan seorang pemimpin untuk
mempekerjakan dan memberhentikan karyawan (hire and fire), disiplin,
mempromosikan karyawan, dan memberikan gaji.
·
Task
structure , yaitu tingkat pembagian kerja dan penyusunan prosedur kerja.
Implementasi dari pemahaman situasi ini adalah sebagai
berikut:
Jika hubungan antara pemimpin dan anggota (leader
–member relations) baik, tugas didelegasikan dengan baik, dan kekuasaan
struktural berjalan dengan baik, maka kinerja perusahaan akan membaik.
Sebaliknya ada kondisi dimana anggota tim kerja
(bawahan) tidak dapat menjalankan tugas dengan baik sehingga kinerja perusahaan
menjadi buruk, maka seorang pemimpin harus dapat mengkombinasikan gaya
kepemimpinan mana yang harus ditingkatkan. Jika kinerja tim dalam menyelesaikan
pekerjaan kurang, maka aspek task structure harus ditingkatkan. Namun, jika
motivasi kerja kurang, pemimpin dapat meningkatkan aspek leader-member
relations. Demikian seterusnya, ketiga hal ini dapat digunakan untuk memimpin
anggotan tim kerja agar dapat bersama-sama mencapai tujuan perusahaan.
Dalam menjalankan perusahaan, seorang pemimpin atau
anggota tim kerja terkadang menemui tekanan-tekanan atau (stress).
Menghadapi hal ini, seorang pemimpin tetap dapat menerapkan teknik kepemimpinan
yang akan membawa perusahaan sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Teori yang mendukung kondisi ini adalah cognitive resource theory, yaitu teori
kepemimpinan yang menyatakan bahwa stress dapat mempengaruhi situasi sehingga
keahlian dan pengalaman yang dimiliki seseorang akan mengurangi pengaruh stress
yang terjadi.
Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang
menunjukkan bahwa:
·
Pemimpin
yang memiliki keahlian yang tinggi, biasanya akan dapat memimpin perusahaan dengan
baik walaupun menghadapi tingkat stress yang tinggi.
·
Pemimpin
yang memiliki pengalaman yang tinggi akan mampu memimpin perusahaan dengan
tingkat stress yang tinggi.
Berkaitan dengan situasi dan kondisi tersebut,
terdapat pula teori dari Hersey and Blanchard’s Situational Leadership yang
memfokuskan pada kesiapan pengikut (anggota tim/anakbuah) dalam menghadapi
situasi.
Teori lain yang berkaitan dengan hubungan antara sikap
anak buah dan pemimpin adalah:
·
Path-Goal
Theory yaitu teori yang menyataan bahwa pekerjaan seorang pemimpin adalah
membantu anak buahnya untuk mencapai tujuan dan menyediakan arahan untuk
mendukung dan menjamin tujuannya agar sejalan dengan tujuan kelompok atau
perusahaan.
·
Leader-participation
model, yaitu teori yang menyediakan seperangkat aturan untuk menentukan bentuk
dan jumlah pengambilan keputusan yang dapat diambil bersama dalam situasi yang
berbeda. Artinya, selan seorang pemimpin dapat mengambil keputusan secara
independent, ada kalanya untuk situasi tertentu ia dapat melibatkan anggota
timnya dalam proses pengambilan keputusan.
KEPEMIMPINAN
Ciri-ciri seorang pemimpin yang berhasil
Mula –mula terdapat pandangan bahwa pemimpin itu
dilahirkan maksudnya yang dapat menjadi pemimpin hanya orang-orang tertentu
saja , yang mempunyai bakat untuk memimpin . efektifitas kepemimpinan dianggap
oleh kepribadian pemimpin . pemimpin mempunyai kualitas yang lebih baik dari
pada pengikutnya . ia mempunyai ciri-ciri yang tidak dipunyai pengikutnya.
MARAT (1982) mengutip carter, yang menemukan ciri-ciri
perilaku pemimpin yang berhasil dari penelitian yang dilakukan pada angkatan
darat amerika serikat, sebagai berikut :
1. Performing
professional and technikal spesiality
2. Knowing subordinates
and showing consideration for them
3. Keeping channels of
communication open
4. Accepting personal
responsibility and setting an example
5. Imitating and
directing action
6. Training men as a
team
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL
Interaksi antara pemimpin dan pengikutnya , manajer
dengan bawahannya ditandai oleh pengaruh pemimpin/manajer untuk mengubah
perilaku pengikutnya/bawahannya menjadi seseorang yang merasa mampu da
bermotivasi tinggi dan berupaya mencapai prestasi kerja yang tinggi dan
bermutu. Pemimpin mengubah bawahannya , sehingga tujuan kelompok kerjanya dapat
dicapai bersama.
KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL
Dalam bentuk kepemimpinan ini pemimpin berinteraksi
dengan bawahannya melalui proses transaksi
. bass dan avolio (1994) membahas empat macam transaksi , yaitu :
1. Contingen reward
2. Managemen by
exception-active
3. Managemen by
exception-passive
4. Laisesez-faire
Dari keempat ciri kepemimpinan transaksional diatas
dapat disimpulkan adanya derajat kepercayaan dari atasan/ pemimpin terhadap
bawahannya yang berbeda-beda.
KONFLIK
Ada berbagai definisi yang di ungkapkan oleh para ahli
tentang konflik. Diantaranya yang diungkapkan putman & pool (sujak , 1987:
150) , konflik didefinisikan sebagai interaksi antara individu , kelompokatau
organisasi yang membuat tujuan atau arti yang berlawanan , dan merasa bahwa
orang lain sebagai pengganggu yang potensial terhadap pencapaian tujuan mereka
.
Selanjutnya mullins (1993) mendefinisikan bahwa
konflik merupakan kondisi terjadinya ketidaksesuaian tujuan dan munculnya
berbagai pertentangan perilaku , baik yang ada dalam diri individu, kelompok
maupun organisasi .konflik dapat dikelompokkan ke dalam dua unsur , yaitu : 1) konflik antara individu dengan
dirinya sendiri , dan 2) konflik antara individu dengan lingkungan organisasi .
1. KONFLIK ANTARA
INDIVIDU DENGAN DIRINYA SENDIRI
Konflik antara individu dengan dirinya sendiri ini
akan muncul ketika individu merasa bahwa dalam dirinya sendiri mengalami :
a. Adanya suatu
pertentangan antara perasaan-perasaan senang dan frustasi , gagal dan berhasil
, berharap dan putus asa.munculnya perasaan-perasaan tersebut karena adanya
kepentingan atau kekuatan yang bergerak kee arah tertentu dalam waktu yang
bersamaan.
b. Adanya dua
gagasan/lebih yang berupa pertentangan , gerakan hati (impuls) , saling
berlawanan dan terjadi ketegangan emosi akibatnya muncul perasaan yang tidak
menyenangkan, stres , dan dapat mempengaruhi perilaku individu secara
kognitif , afektif perasaan –perasaan
negatif seperti kemarahan /kegusaran , ketakutan /kecemasan , bersalah /malu,
sedih, cemburu/iri hati , dan menjijikkan / muak , kognitif, dan psikomotorik .
c. Adanya suatu
perjuangan antara keinginan dan pertentangan yang ada dalam diri individu
berupa pertentangan psikis seperti merasa frustasi , stres, dan berusaha untuk
melawannya. Situasi ini dapaqt disebabkan oleh adanya pikiran-pikiran ,
gagasan, tindakan-tindakan , cita-cita , tujuan yang berlawanan atau
peran-peran yang bertentangan sehingga dapat mempengaruhi perilaku individu .
2. KONFLIK ANTARA
INDIVIDU DENGAN LINGKUNGAN DALAM ORGANISASI
Konflik antara individu dengan lingkungan dalam
organisasi ini muncul ketika individu merasa mengalami :
a. Perilaku
antagonis yang menyakut perilaku lahiriah antara dia dengan orang lain yang
berupa tindakan-tindakan seperti merusak dan memperbaiki , antara menekan dan
menetralisasi , acuh tak acuh dan mengacuhkan, menyendiri, dan bersosialisasi .
dia mencoba untuk memberi tekanan kepada staf yang tidak disenanginya ketika
membuat kesalahan tetapi bagi staf yang lain yang melakukan kesalahan , malahan
dia mencoba untuk menetralisasi kesalahan staf tersebut.
b. Adanya tarik-menarik
antara kepentingan diri sendiri dengan kepentingan orang lain, seperti
memperoleh kesempatan dan menduduki jabatan dan merugikan orang lain ,
memperluas wilayah pemasaran dan merugikan bagian pemasaran yang lainnya.
c. Adanya
ketidakcocokkan antara kepentingan diri sendiri dengan kepentingan orang /
kelompok lain yang mempunyai tujuan yang sama.
BENTUK-BENTUK
KONFLIK
1. Konflik dalam diri
individu
Munculnya konflik yang ada dalam diri individu
mempunyai kecenderungan berkaitan dengan a) tujuan yang hendak dicapai , b)
pertentangan dalam peran yang dimainkan .
a. Konflik yang
berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai
Pertentangan dapat terjadi ketika tujuan yang hendak
dicapai saling berimbang kekuatannya. Pertentangan tersebut dapat memiliki
bentuk positif maupun bentuk negatif , secara hingga terjadi persaingan dua
atau lebih kepentingan dalam diri individu untuk mencapai tujuan yang
diinginkannya .
Ada tiga bentuk konflik yang berkaitan dengan tujuan
yang hendak dicapai yaitu :
1. Konflik mendekat
–mendekat
Konflik ini muncul ketika individu didorong untuk
melakukan pendekatan positif terhadap dua persoalan atau lebih . tetapi ,
tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lainnya.
2. Konflik mendekat
–menghindar
Individu yang mengalami konflik ini didorong untuk
melakukan pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu tujuan
dan pada waktu yang sama didorong untuk melakukan penghindaran terhadap
persoalan –persoalan tersebut .
3. Konflik menghindar
Individu didorong untuk menghindar dua atau lebih hal
yang negatif tetapi tujuan –tujuan yang dicapainya saling terpisah satu sama
lain .
KONFLIK ANTAR PRIBADI
Konflik
antar pribadi adalah suatu konflik yang mempunyai kemungkinan lebih sering
muncul dalam kaitannya antar individu dengan individu yang ada dalam suatu
organisasi. Beberapa faktor tersebut adalah adanya kesalahan dalam persepsi ,
kesalahan berpendapat , kesalahan dalam memahami , kesalahan dalam
berkomunikasi , perbedaan tujuan ,
perbedaan nilai –nilai , latar belakang
budaya , sosial –ekonomi , dan sifat-sifat pribadi antara karyawan dengan
karyawan , antara atasan dengan bawahan
, antar atasan dengan atasan atau antar kelompok dalam organisasi.
Sumber
http://berpikirtentangmu.blogspot.co.id/2015/03/psikologi-industri-dan-organisasi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar